Langsung ke konten utama

Masa Depan Jurnalisme Profesional di Tengah Berkembangnya Jurnalisme Warga


Bencana dahsyat yang melanda tanah rencong lima tahun silam masih membuat siapa pun merinding jika mengingatnya. Tsunami menerjang apa pun yang dilewatinya. Bangunan hancur, ratusan ribu nyawa melayang. Meskipun tidak semua orang mengalami bencana itu secara langsung, namun kita dapat menyaksikan keganasan tsunami Aceh tersebut melalui sebuah video yang dibuat langsung saat kejadian oleh salah satu korban, yaitu Cut Putri.
Rekaman gambar yang dibuat oleh Cut Putri yang kemudian bisa disaksikan oleh khalayak umum tersebut adalah sebuah kegiatan yang dinamakan Citizen Journalism atau Jurnalisme Warga. Jurnalisme warga adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis, serta penyampaian informasi dan berita.[1] Jurnalisme warga adalah kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki basic sebagai jurnalis atau wartawan profesional. Lebih jauh lagi Imam suwandi dalam bukunya “Langkah Otomatis Jadi Citizen Journalist” menyatakan bahwa Citizen Journalist merupakan fenomena bagi siapapun yang mengamati perkembangan media, mereka yang berada di lingkup seperti akademisi, para praktisi, kru dan pemilik media, maupun mereka yang berada di luar media, seperti para pengamat media dan pemirsa.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kebebasan berdemokrasi dan mengekspresikan diri bagi setiap manusia menjadi semakin mudah. Tak terelakkan lagi, saat ini kita memasuki era internet dimana semua orang dapat dengan bebas bertukar informasi tanpa ada batasan waktu dan jarak. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas (Nurudin, 2007). Inilah yang menjadi cikal bakal semakin maraknya praktek Citizen Journalism. Kemudahan yang ditawarkan membuat siapa pun dapat menyampaikan segal informasi yang ia dapat kepada dunia melalui blog pribadinya atau pun akun jejaring sosial seperti twitter dan facebook.
Meskipun istilah Jurnalisme Warga atau Citizen Journalism mungkin belum terlalu akrab di kalangan umum, namun secara sadar ataupun tidak sadar, kegiatan Jurnalisme Warga telah sering diakukan oleh masyarakat awam sejak waktu yang tidak bisa dikatakan sebentar.  Pemicunya tidak lain adalah perkembangan teknologi yang tentu saja memudahkan setiap individu untuk berekspresi apa pun kepentingannya.
Menyadari akan semakin tingginya minat masyarakat terhadap Jurnalisme Warga, beberapa pihak telah memfasilitasi dengan dibentuknya wadah untuk menampung karya jurnalisme dari masyarakat luas ini. Dimulai dari salah satu program acara di Radio Elshinta yang menjadikan warga sebagai sumber berita[2], selanjutnya ada social blog bentukan Kompas yaitu Kompasiana. Media elektronik seperti televisi turut memberikan ruang bagi warga dengan program Wideshot di MetroTV ataupun SCTV yang memberikan kesempatan bagi pemirsanya untuk mengirimkan berita yang nantinya berita terpilih akan disiarkan dalam program liputan6. Semuanya melibatkan peran aktif dari masyarakat sebagai sumber informasi, entah dengan menulis berita atau mengirimkan video rekaman yang mereka buat sendiri.
Di lain pihak, Atmakusumah Astraatmaja, dalam acara diskusi tentang “Kebebasan Pers dan Keselamatan Wartawan di Aceh”, di Jakarta tahun 2003 menyampaikan bahwa Jurnalisme prefesional membuat laporan akurat dan faktual berdasarkan kemampuan wartawan. Wartawan harus selalu skeptis dengan pernyataan orang, sehingga perlu mencocokkan (cross check) dengan pihak lain. Prinsip dasar jurnalisme profesional, kata Atmakusumah, adalah melaporkan secara obyektif dengan cara membuat berita tidak bias, berimbang, tidak diskriminatif dan tidak berprasangka. Hal ini tentu saja berbeda dengan Citizen Journalism.
Tidak dapat dipungkiri, kebebasan seseorang dalam menyampaikan informasi justru menjadi boomerang bagi Jurnalisme Warga itu sendiri. Informasi yang diberikan belum tentu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.  Jurnalisme profesional tentu saja tidak serta merta bisa dipisahkan dari dunia Jurnalisme warga. Jurnalisme warga mempunyai berbagai kelebihan, misalnya kecepatan informasi yang diperoleh, issue yang dekat dengan masyarakat, dan juga ketepatan momen yang didapatkan. Sedangkan dunia Jurnalisme Profesional tentu saja mengutamakan kebenaran, kelengkapan, kedalaman, dan akurasi suatu berita (Suwandi, 2010:35-36). Semakin berkembangnya Jurnalisme Warga bukanlah suatu ancaman bagi eksistensi Jurnalisme profesional. Keduanya justru dapat saling mendukung dan melengkapi sesuai dengan keunggulan dan ciri khas masing-masing.
Berita menarik atau bahkan penting yang ditangkap oleh pewarta Jurnalisme Warga bisa jadi tidak diketahui orang banyak karena keterbatasan media untuk mengaksesnya. Di lain pihak, cakupan media mainstream yang luas tentu saja memungkinkan suatu berita dapat sampai ke telinga masyarakat luas pula.
Di sinilah Citizen Journalism berperan sebagai pemicu atau pemantik jurnalis berita mainstream untuk lebih mengeksplorasi dan melakukan riset atas suatu fenomena berita atau informasi sebelum nantinya dilemparkan ke publik dalam bentuk berita yang akurat, terpercaya, memenuhi semua kaidah pemberitaan, dan tidak melanggar kode etik jurnalistik. Tentu saja kejelian dan sensitivitas seorang wartawan sangat diperlukan di sini. Dibutuhkan kepekaan dan ketrampilan wartawan untuk untuk melihat angle yang menarik dari suatu peristiwa (Baskoro, 2010:31)


DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, L.R. 2010. Jurnalisme Hukum, Jurnalisme Tanpa Menghakimi. Jakarta: Jurnalis Indonesia dan Lintang Pers.
Nurudin. 2007. Pengantar komunikasi massa. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Suwandi, Imam. 2010. Langkah Otomatis Jadi Citizen Journalist. Jakarta: Dian Rakyat.
Diunduh dari http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2003/06/03/brk,20030603-29,id.html diunduh pada 4 Januari 2012 pukul 10.00
Diunduh dari http://kapita-fikom-untar-915080089.blogspot.com/2011_09_01_archive.html diunduh pada 4 Januari 2012 pukul 10.00


[1] Disampaikan Agus Sudibyo dalam Seminar “Jurnalisme Warga” di Universitas Tarumanegara 2011. Sumber http://kapita-fikom-untar-915080089.blogspot.com/2011_09_01_archive.html
[2] Disampaikan oleh Muninggar Sri Saraswati dalam Diskusi Panel “Jurnalisme Warga” Seminar Nasional Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Tanggal 14 Desember 2011.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"percayalah sama dirimu sendiri, AJENG DEVITA MARTIAN ITU ORANG YANG LUAR BIASA ! yakinlah dengan apa yg kamu jalani sekarang, lakukan dengan ikhlas, jangan takut untuk memilih dan menentukan, tetap berdoa untuk memohon kekuatan, doa- doa orang sepertimu, orang yg bisa membahagiakan sekitarmu, doa yang akan Tuhan kabulkan" kalo kamu ada di deket sini sekarang, pasti langsung tak peluk sampe nggak bisa napas. terimakasih Tuhan, Engkau telah memberiku hidup yang luar biasa. tidak selalu lancar dan menyenankan. sering ngerasa banyak masalah malah. tapi bersama dengan masalah-masalah itu, Kau datangkan juga sahabat. yang tidak hanya membawaku keluar dari segala ke-menye-an ku, tetapi bahkan mengangkatku ke tempat yang jauuuuuh lebih baik. doaku, semoga dia selalu bisa tersenyum. semoga aku bisa memberi seperti apa yang sudah dia beri. dan berilah dia hari-hari yang menyenangkan.

trash?

trash /tr{S/ noun [U] 1 INFORMAL something that is worthless and of low quality: I can't believe that someone of his intelligence can read such trash! There's only trash on the television tonight.   2 US FOR rubbish: The trash really stinks - why don't you take it out?   trash /tr{S/ group noun [U] US INFORMAL an insulting way of referring to a group of people you consider worthless: We don't have anything to do with the people in the apartment below us - they're trash. talk trash 1 INFORMAL to say things that do not have a lot of meaning: There are too many radio shows featuring idiots who call in and talk trash all day. 2 US INFORMAL to criticize other people, especially unfairly or cruelly   trash /tr{S/ verb [T] INFORMAL 1 to throw away, destroy or severely damage something: I simply trash that sort of mail. The guys got angry and trashed the bar. 2 to criticize something or someone

(Resensi) Jurnalisme Hukum, Jurnalisme Tanpa Menghakimi

RESENSI Judul Buku: Teknik Reportase & Menulis Berita Hukum; Jurnalisme Hukum (Jurnalisme Tanpa Menghakimi) Penulis: L. R. Baskoro Penerbit: CV. PERSADA RAHARJA NUGRAHA Cetakan: Pertama, 2011 Ukuran: 14 x 21,5 cm Halaman: 196 hlm Jurnalisme hukum bukan jurnalisme menghakimi. Ia tidak memiliki wewenang untuk menyatakan seseorang bersalah atau benar. Wartawan bukan hakim. Jurnalisme hukum hanya bertugas menggali dan mencari informasi, memberikannya kepada pembaca, dan pembaca yang menyimpulkan. Wartawan hukum menyampaikan fakta yang ia cari, ia gali dari berbagai narasumber. Tugas seorang wartawan hukum adalah mencari kebenaran dan menyampaikannya secara menyeluruh dengan jujur. Tak ada motif apapun selain menyampaikan dan menggali kebenaran tersebut. Karena itu berita atau tulisan seorang wartawan hukum harus lahir dari sebuah karya jurnalistik tanpa prasangka: Jurnalisme tanpa menghakimi. Berangkat dari hal tersebut, L.R. Baskoro menulis buku “Jurnalisme